Putusan MK Nomor 150/PUU-XXII/2024, Dosen PNS Bisa Jadi Advokat

Putusan MK Nomor 150/PUU-XXII/2024, Dosen PNS Bisa Jadi Advokat
banner 468x60

Polemik mengenai peran dosen PNS sebagai advokat dapat diibaratkan seperti perdebatan tentang batasan-batasan dalam tugas profesi tertentu. Misalnya, jika seorang dokter PNS diperbolehkan untuk membuka praktik mandiri, sementara dosen PNS hanya dibatasi untuk memberikan pendampingan hukum non-litigasi, maka pembatasan ini dapat dianggap tidak adil dan diskriminatif. Dalam hal ini, dokter PNS diizinkan untuk berpraktek di luar ruang lingkup instansi, sedangkan dosen PNS tidak diberikan ruang yang sama untuk mengaplikasikan keahlian hukum mereka di lapangan secara lebih luas.

Onesius Gaho, S.H., M.H., seorang advokat, berpendapat bahwa dosen PNS yang berpraktik sebagai advokat dapat memberikan manfaat yang signifikan dalam dunia pendidikan hukum. Seperti halnya seorang dokter yang menghubungkan teori medis dengan praktik di rumah sakit, dosen PNS yang berpraktik sebagai advokat dapat membantu mahasiswa mengintegrasikan teori hukum yang diajarkan di kelas dengan pengalaman praktis di lapangan. Ini bukan hanya memperkaya pemahaman mahasiswa tentang hukum, tetapi juga memberikan mereka gambaran nyata tentang bagaimana hukum diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 150/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak berlaku bagi dosen berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Dengan demikian, dosen PNS dapat melaksanakan pengabdian kepada masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi tanpa adanya kekhawatiran melanggar ketentuan hukum yang berlaku.

Pandangan Organisasi Advokat PERADAN bahwa Dosen ASN yang ingin menjalankan profesi advokat harus tergabung dalam organisasi advokat, tunduk pada kode etik dan adanya pengawasan organisasi. Kami perlu memastikan advokat melaksanakan tugasnya secara profesional, independen, dan tunduk pada kode etik yang berlaku sehingga apabila ada pelanggaran dapat diproses melalui Dewan Kehormatan PERADAN. Ucap Indranas.

Profesi advokat menuntut kesabaran, kemampuan mendengar yang baik, serta keteguhan dalam memperjuangkan keadilan. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, advokat tetap harus menjunjung tinggi profesionalisme dalam memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan. Berbeda dengan dosen PNS yang memiliki penghasilan tetap, advokat yang berpraktik secara mandiri harus memiliki kreativitas dan kemandirian dalam mencari sumber pendapatan tambahan. Oleh karena itu, profesionalisme menjadi kunci agar advokat tetap relevan dan kompetitif di tengah dinamika dunia hukum.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat adalah seseorang yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), muncul perdebatan terkait Pasal 3 ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat diangkat sebagai advokat jika masih berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Selain itu, Pasal 20 Undang-Undang Advokat melarang advokat menjalankan profesi lain yang dapat mengurangi independensi atau merugikan profesi advokat itu sendiri.

Profesi advokat sering disebut sebagai officium nobile atau profesi mulia, sejajar dengan profesi penegak hukum lainnya seperti hakim, jaksa, dan polisi. Namun, dengan diperbolehkannya dosen berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk berpraktik sebagai advokat, muncul kekhawatiran terkait potensi dualisme peran. Meski demikian, dosen PNS hanya diperkenankan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, yang berarti tidak ada konflik kepentingan yang berhubungan dengan keuntungan finansial.

Bantuan hukum secara cuma-cuma atau pro bono telah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan bantuan hukum gratis seringkali tidak optimal. Banyak advokat yang enggan memberikan bantuan hukum tanpa biaya karena tekanan kebutuhan finansial. Akibatnya, masyarakat miskin sering kali terpinggirkan dan kesulitan mengakses keadilan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, disahkanlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-undang ini menjadi dasar hukum bagi negara dalam memastikan akses keadilan bagi masyarakat yang rentan. Bantuan hukum tersebut juga melibatkan paralegal, mahasiswa hukum, dan dosen PNS dalam memberikan pendampingan hukum, baik dalam ranah litigasi maupun non-litigasi.

Hak atas bantuan hukum telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa setiap orang yang menghadapi proses hukum berhak untuk memperoleh bantuan hukum. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga mengatur bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum di setiap tahapan pemeriksaan.

Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan dosen berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk berpraktik sebagai advokat, kini mereka dapat memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin, termasuk dalam pendampingan hukum di pengadilan. Keputusan ini diharapkan dapat memperkuat akses keadilan bagi masyarakat yang termarjinalkan. (*)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *